Rabu, 31 Agustus 2011

KONFLIK SENJATA DI PANIAI MEMBUAT UMAT TIDAK KE GEREJA

Pastor Marthin dalam kotbah hari Minggu 21 Agustus menyatakan bahwa jangan percaya dan takut pada konflik kepentingan tetapi percaya pada kebenaran Keselamatan Allah. Hal ini disampaikan agar umat lebih tenang mewaspadai konflik senjata antara TNI/POLRI dan kelompok yang diduga TNPB (Tentara Nasional Papua Barat) Divisi II Makodam IV Paniai



  Dekan Dekenat Paniai, Pastor Mathin Ekowaibi Kuayo, Pr (Tengah), Mgr John Philip Saklil, Pr (kanan) dan Diakon Fransiskus Doo (kiri) dalam prosesi penjemputan umat dalam rangka pengesahkan Paroki dari Quasi Salib Suci Madi  menjadi paroki terbaru dalam wilayah Keuskupan Timika, Papua (foto/by John Gadaby Giay)



           Dekan Dekenat Paniai, Pastor Marthin Kuayao, Pr., menekankan bahwa "Allah mencintai semua orang. Allah tidak membiarkan orang yang meminta bantuan pada-Nya. Kontak senjata yang akhir-akhirnya terjadi di Tanah Papua, khususnya di Kabupaten Paniai, bukan hal baru, bukan baru pertama kali terjadi melainkan sudah terjadi sejak tahun 1969 sampai saat ini. Jadi, saya menghimbau kepada umat Katolik khususnya agar jangan takut dan cemas karena Allah tidak akan membiarkan kita jika kita percaya akan keselamatan dari Pada Tuhan. Kalaupun kita dibunuh atau ditembak oleh TPN/OPM ataupun TNI/POLRI, Allah tetap mencintai kita karena kita dibunuh karena iman akan Kristus. Tidak perlu takut dan cemas karena setiap manusia akan mengalami kematian, karena setipa manusia mati dengan cara Allah mengaturnya. Ada orang yang mati karena kecelakaan lalu lintas, ada orang yang mati karena keracuna makanan, ada orang mati karena konsumsi minuman keras (miras), ada orang mati karena racun, ada orang  mati karena penyakit, ada orang mati karena berada ditengah konflik senjata atau medan perang. Jadi, umat Katolik Dekenat Paniai, khususnya Paroki St Yusuf Enarotali dan Paroki Salib Suci Madi, harus percaya dan berlandaskan pada Tuhan. Kalau kita meminta kepada Tuhan untuk keamanan, tentu Tuhan akan mengabulkannya," tegasnya dalam kotbah hari Minggu, 21 Agustus 2011 di Paroki St Yusuf Enagotadi.
Hal di atas disampaikan Pastor Marhtin karena banyak umat Katolik tidak masuk ke gereja sehingga banyak kursi kosong (lihat foto-foto dibawah). Tanggal 11 Agustus 2011, isu penyerangan dan konflik senjata antara TNPB dan TNI/POLRI sudah menyebar ke seluruh Meeuwo (Paniai, Komopa, Deiyai dan Dogiya). Maka mulai tanggal 12 Agustus 2011, sebagian umat mengungsi ke kampung-kampung yang jauh dari kota Enarotali dan Madi dan dan tidak jelas kapan kembali ke Enarotali dan Madi, karena sampai tanggal 30 Agustus 2011, sebagai umat dan masyarakat masih belum kembali. Kota Enarotali selalu ramai dan penuh dengan manusia, tak terlihat lagi sebagai tanda umat masih di kampung-kampung.  Hari Minggu 28 Agustus 2011, masih sedikit yang masuk ke Gereja Paroki St. Yusup Enagotadi. Situasi ini menunjukkan bahwa pihak pemerintah dan keamanan belum memberikan jaminan keamanan bagi masyarakat asli Papua di Kabupaten Paniai.
Untuk mengatasi traumatisme umat dan masyarakat secara umum di Kabupaten Paniai, sekaligus untuk meredam situasi ketakutan mayasrakat, pada tanggal 22 Agustus 2011 para pimpinan gereja (Katolik GKIP, Pentekosta dan GKI) melakukan rapat tertutup dan membentuk Tim investigasi untuk melakukan pendataan di lapangan. Tim investigas dari dedominasi gereja tersebut akan melakukan pencarian kebenaran atas kontak senjata yang terjadi sejak tanggal 16 Agustus 2011 (pukul, 12.50 malam) sampai tanggal 17 Agustus 2011 (14.00 siang) di Kota Madi, ibukota Kabupaten Paniai. Kemudian situasi kota Mandi dan Enarotali dalam kondisi siaga satu sampai tanggal 19 Agustus 2010. Dan siaga satu itu berlanjut terus sampai kapan tidak jelas, karena pihak TNI/POLRI tetep berjuang untuk mengejak dua pucuk senjata senpi yang masih ditahan oleh kelompok TNPB di Eduda. Hasil investigasi akan disampaikan kepada pemerintah dan pihak-pihak yang berkepentingan dengan pembangunan perdamaian.
Meskipun Gereja sudah mengeluarkan Surat Gembala agar pemerintah dan aparat keamanan memberi jaminan kepada seluruh umat dan masyarakat di Kabupaten Paniai, justru ketegangan hidup bermasyarakat masih terus berlanjut sampai batas yang tidak tentu. Beberapa kali para aparat keamanan masih melakukan swiping kepada masyarakat yang datang dari Kabupaten Deiyai ke Kabupaten Paniai. Kemudian isu pengiriman pasukan ke Paniai masih berkembang ke penjuru dunia.
Menurut Pastor Marthin, kontak senjata yang terjadi terindikasi konflik kepentingan ketimbang memperjuangkan Papua Merdeka oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) atau mempertahankan NKRI oleh aparat keamanan Indonesia. Lebih lanjut menurut Pastor Marthin (biasa di panggil Pastor Maku), penembakan di ujung lapangan pada saat pengibaran Upacara Bendera tanggal 17 Agustus lalu bukan merupakan serangan dari TNPB Pimpinan John Magai Yogi yang bermarkas di kampung Eduda melainkan dilakukan oleh aparat keamanan sendiri karena ada kelompok yang tidak senang terhadap kinerja pemerintahan Kabupaten Paniai, bahkan para aparat keamanan tidak diberikan uang keamanan dalam rangka mengamankan HUT RI tahun ini. Pada tahun-tahun sebelumnya pemerintah selalu menyediakan anggaran pengamanan atau keamanan namun tahun 2011 ini pemerintah tidak melakukannya sehingga hampir sebagian besar aparat keamanan dari satuan POLRI, TNI, Brimob dan Tim Khusus (Timsus) marah kepada Bupati Kabupaten Paniai.
Beberapa kali penembakan masih terjadi pada malam hari di tempat yang sama, yakni di ujung lapangan. Yang menjadi persoalan adalah kota enarotali sudah disterilkan sejak tanggal 16 Agustus 2011 sampai tanggal 24 Agustus 2011, namun tanggal 17-19 Agustus masih terjadi penembakan di kota Enarotali pada malam hari pukul 12.00 malam. Para aparat keamanan tidak melakukan penyelidikan kasus penembakan di kota Enarotali yang justru membuat masyarakat sipil semakin takut.
Menurut Penanggungjawab Harian Paroki Salib Suci Madi, Fr. Oktovianus Pekey, “Ibadat Sabda pada hari Minggu tanggal 21 Agustus lalu, hanya 9 orang saja yang ikut  ibadah bersama di Paroki Salib Suci Mari yang baru disahkan oleh Uskup Timika tanggal 29 Juli 2011 yang lalu itu. Seluruh umat Katolik maupun Protestan mengungsi ke kampung lain dari kota Madi karena terjadi tembak menembak antara aparat keamanan dengan kelompok yang diduga TNPB Pimpinan John Yogi. Masyarakat takut dan trauma atas kontak senjata tersebut sehingga mengungsi di kampung-kampung yang jauh dari Madi. Banyak masyarakat berpikir bahwa jangan sampai terjadi kekerasan pada tahun 1969 sampai tahun 1985 di Paniai yakni aparat keamanan melakukan pembunuhan terhadap seluruh orang Mee. Entah anak kecil, ibu hamil, orang tua, orang dewasa, perempuan semuanya dibunuh habis oleh TNI waktu itu. Jadi konflik senjata itu mengingatkan kekerasan masa lalu sehingga warga di Madi maupun di Enarotali mengungsi ke tempat lain,” ujar Pekei yang juga sebagai Ketua Komisi Sekretariat Keadilan dan Perdamaian Dekenat Paniai.
Hal senada juga disampaikan oleh Pastor Dekan Paniai, P. Marthin Ekowaibi Kuayo, Pr. “Umat Paroki St Yusuf hampir sebagian besar tidak masuk ke gereja pada hari minggu biasa ke dua puluh satu itu, karena umat masih takut dan belum kembali ke Enarotali. Jika pemerintah belum memberikan jaminan keamanan kepada masyarakat asli Papua maupun pendatang, maka kemungkinan besar masyarakat agak lama bertahan di tempat pengungsiannya. Apalagi rencana pengirimanan pasukan ke Paniai untuk mengejar dua senjata yang dirampas di Polsek Komopa,” katanya.
Sementara itu, menurut Fr Oktovianus Pekei, “salah satu kemarahan dari TNPB Pimpinan John Magai Yogi yang adalah karena pada saat pengesahkan Paroki Salib Suci Madi tanggal 29 Juli lalu, kelompok TNPB itu mau terlibat dalam pesta namun para aparat keamanan melarang masuk dan terlibat dalam acara pengesahkan tersebut. Masyarakat dikampung Eduda itu sebagian besar adalah beragama Katolik dan masuk dalam Paroki Salib Suci Madi sehingga mereka ingin terlibat  dalam pesta pengesahkan Paroki. Kelompok itu, membawa babi dua ekor yang mereka bawa dari Kombas "Domba Yang Hilang" Eduda disita oleh TNI/POLRI dan diusir kembali dengan beberapa penembakan pada tanggal 29 Juli pagi. Tindakan ini juga menjadi salah satu alasan kenapa mereka datang ke Madi untuk konflik dengan TNI/POLRI dan melakukan perampasan senjata di Distrik Komopa,” ungkapnya.
Untuk mengejar dua senjata yang dirampas oleh TNPB itu, para pimpinan TNI/POLRI mengirim Densus 88 dan Tim Khusus dari Makasar ke Kabupaten Paniai. Masyarakat dan umat semakin tegang karena TNI/POLRI semakin banyak dan beberapa kali terjadi pemeriksaan oleh aparat gabungan TNI/POLRI, jika terjadi isu penyerangan dari TNPB yang kemudian tidak terbukti. Tidak tahu isu penyerangan itu dikembangkan di tengah masyarakat, sehingga hidup masyarakat semakin tidak aman. Apalagi terjadi pendropan pasukan dari luar akan memperparah keamanan hidup masyarakat. Sampai tanggal 27 Agustus 2011, masyarakat asli masih dalam ketakutan. Jika situasi ini bertahan agak lama, makan akan menjadi soroton masyarakat Internasional. Apalagi pemerintah tidak memberi jaminan kepada masyarakat namun sibuk mengurus Pilkada Kabupaten, Pilkada Propinsi Papua dan kasus Nazarudin.  
Kapolres Paniai dalam pertemuan dengan tokoh agama, tokoh adat, tokoh perempuan dan tokoh pemuda tanggal 29 Agustus lalu menyatakan bahwa deadline kesabaran adalah tanggal 7 September dan jika John Magai Yogi belum mengembalikan, maka aparat keamanan akan melakukan pencarian (maksudnya penyerangan dan penyisiran). Untuk melakukan pengejaran dua pucuk senjata tersebut, aparat keamanan berjuba preman mulai menambah di kota Enarotali dan Madi. Dan rencananya (issue) pemerintah pusat, SBY dan Budiono akan mengirim 3.000 pasukan ke kabupaten Paniai, Kabupaten Dogiyai, Kabupaten Deiyai, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Puncak Jaya, Kabupaten Lani Jaya dan Kabupaten Puncak. Ini adalah kabupaten-kabupaten yang sebelumnya berada dalam kekuasaan kabupaten Nabire. Jumlah pasukan kni belum termasuk di kabupaten lain. Sementara itu informasi yang diterima dari pihak polisi, untuk mengejak dua pucuk senjata itu, pemerintah pusat akan mengirim 300 orang khusus di Kabupaten Paniai. Dan lebih aneh adalah para aparat kemanana (TNI/POLRI) yang bertugas di Kabupaten Deiyai dan Paniai tidak diberikan senjata, bahkan senjata yang dipegang oleh polisi dan militer orang asli Papua disita atau diambil kembali oleh pimpinannya. Jadi, TNI/POLRI orang asli Papua di Paniai mengalami tekanan mental dan batin yang hanya diobati oleh gerakan perdamaian di Tanah Papua.
Kodisi terakhir seperti diatas ini, umat dan masyarakat Paniai semakin tertekan dan tetap bertahan di kampung-kampung pengungsiannya. Banyak masyarakat belum kembali ke Enarotali dan Madi. Situasi masih tegang. Pemerintah dan DPRD tidak berada di tempat karena mengungsi di kabupaten Nabire atau dai daerah lain. Yang ditakutkan adalah praktek genesoda melalui meracuni makanan di warung atau kue di kios-kois yang kebanyakan dibeli oleh orang asli Papua. Sangat tidak mungkin, TNI/POLRI melakukan tindakan kekerasan kemanusiaan untuk menuntut mengembalikan dua pucuk senjata yang disita oleh kelompok TNPB Pimpinan John Magai Yogi. Cara yang dapat ditempuh adalah menghabisi orang asli Papua dengan tindakan penculikan pada malam hari maupun meraruni makanan di warung dan di kios. Hal seperti ini sudah terjadi di berbagai negara dalam kondisi perang. Jadi snagat mungkin pula di lakukan di Kabupaten Paniai dan di seluruh Tanah Papua. Maka selayaknya, orang asli Papua bekerja dan memasak makanan di rumah masing-masing.


*) Penulis: John Gadaby Giay, Pengembara Ilmu di Tanah Papua


BERIKUT INI ADALAH FOTO-FOTO SITUASI UMAT DALAM GEREJA KATOLIK ST. YUSUF ENAGOTADI, PANIAI







Selasa, 30 Agustus 2011

PHOTO PANORAMA ALAM DANAU PANIAI

 
(foto by John Gadaby Giay, 04/08/2011) 

Alam danau Paniai sudah dikenal sangat indah dan berpotensi untuk mengembankan budaya pariwisata alam danau. Banyak foto dipublikasikan ke berbagai negara oleh aktivis pariwisata, namun negera Indonesia tak mampu mengelola industri pariwisata danau Paniai dengan menjadikan masyarakat adat Mee sebagai subjek utamanya.